Tanggal dua yang ke tiga puluh satu
Selama itu hatiku membeku
Aku kira ini soal waktu
Tapi ternyata, hatiku sudah terlalu batu
Begitu banyak ragu, untuk menerima orang baru.

Aku tidak tahu bagaimana bisa begitu
Aku kira aku sudah berusaha untuk membuka pintu
Tapi, tetap saja itu tidak membantu
Semakin dipaksa untuk luluh, rasanya semakin tak mau
Rasanya justru begitu terganggu.

"Sampai kapan ragu itu akan bersiru?"
Aku juga tidak tahu
Rasanya sesuatu yang baru, masih menjadi jeruju
Membuat pilu semakin menderu.

"Sampai kapan kau sia-siakan yang pasti?"
Aku tidak ada maksud untuk menyia-nyiakannya
Aku hanya tidak mau membuatnya menanti
Dan aku hanya tidak mau membohongi perasaanku sendiri

"Sampai kapan akan terus begini?"
"Dia sudah pergi!Untuk apa tetap berharap dia kembali?"
Kenapa si rasanya memaksa sekali?
Aku juga sudah berusaha untuk membuka hati
Aku juga sudah tidak begitu meratapi
Tapi, mencari pengganti yang pas dihati
Tidak semudah itu dicari.

"Sampai kapan akan terus merasakan sakit?"
Apa kau kira, aku tidak bosan menerima rasa pahit?
Apa kau kira, aku tidak berusaha untuk bangkit?
Apa kau kira ini tidak sulit?
Aku juga ingin semua ini cepat membaik
Tapi semakin dipaksa, malah semakin tercabik.

Jadi sudahlah,
Jangan terus lontarkan kalimat 'sampai kapan'
Jangan terus salahkan dia yang memilih untuk meninggalkan
Karena, setidaknya kita pernah saling berbagi cerita, meluangkan waktu untuk bersama, dan saling menciptakan tawa.
Pernah saling menguatkan, mempertahankan, dan memperjuangkan.
Setidaknya dia pernah mengajari cara memperbaiki agar tidak lagi saling menyakiti.
Sebelum akhirnya, masing-masing dari kita memilih jalan kebahagiaan yang berbeda.

Percaya saja kepada Sang Pemilik Hati
Nanti juga ada saatnya aku keluar dari zona ini
Nanti juga fasenya akan berganti
Bukannya aku menikmati patah hati
Hanya saja aku sedang lebih berhati-hati.
Jadikan sakit dan pahit menjadi sebuah bait. Setelah itu, kau akan berterimakasih kepada patah hati yang membuatmu berpuisi.