Menarik kembali cerita yang sebenarnya tidak benar-benar usai
Mataku terpejam, menyusuri panjangnya memori yang entah sudah berapa lama ia tersimpan disana
Pikirku, aku selalu benar.
Nyatanya tidak.
Aku terlalu pengecut saat itu.
Aku yang tidak bisa mengendalikan perasaan sendiri.
Andai saja saat itu aku mengakui bahwa sebenarnya aku terluka.
Apakah cerita ini akan tetap berlanjut?
Apakah justru kita akan benar benar usai?
Jujur, aku tidak tahu keadaan apa yang sedang aku hadapi.
Tapi yang aku rasa, ada sesuatu yang kosong semenjak cerita kita seakan berhenti.
Iya berhenti, tidak usai tapi seperti tidak bisa berlanjut.
Rumit, bukan?
Sebenarnya, kamu tidak benar-benar menyakiti.
Aku saja yang menaruh harapan terlalu tinggi.
Aku yang berharap bahwa kamu tidak akan pernah memberi luka sedalam ini.
Aku yang berharap bahwa kamu tidak akan pernah memutuskan untuk mengkhianati.
Iya memang, setiap manusia pasti akan dihadapkan oleh rasa sakit dan kecewa.
Dan sumber sakit manusia bermacam-macam.
Entah itu dari orang lain atau diri sendiri.
Setiap manusia selalu bisa memberi rasa sakit entah untuk dirinya sendiri atau orang lain.
Tapi, apa mereka juga tahu bagaimana menghargai luka yang sedang dirasakan orang lain?
Atau menyembuhkan luka yang diberikan?
Aku yang masih menggenggam luka itu erat, tanpa tahu bahwa luka itu sudah seharusnya diikhlaskan.
Tapi berat sekali rasanya.
Melepaskan, terdengar mudah namun sebenarnya tidak.
Semua orang bisa berkata, namun tidak dengan memahami perkataan itu.
Isi kepala yang semakin lama semakin tidak masuk akal.
Membuat sesak yang belakangan tidak terasa, kembali menyerbu.
Isi kepala yang menyuarakan banyak pertanyaan, tanpa mau sabar memberi waktu untuk mencari jawaban.
Bisingnya isi kepala sendiri yang semakin lama semakin jelas, pertanyaan tentang "apakah cerita yang belum benar-benar usai itu sebenarnya kini sudah benar-benar usai?"
Belum juga terjawab.
0 Comments